Saturday, December 23, 2006

HANTARAN LEBARAN – TAK PERNAH LAGI SAMA SEPERTI JAMAN EMAK MASIH ADA

(Sebuah Catatan yang Terkumpul dari Perjalanan Lebaran 2006)

Waktu ibu masih ada, di sepertiga terakhir bulan puasa ... ibu bakalan nyiapin nasi kuning plus lauk pauknya yang musti dihantarkan ke semua tetangga di jalan mawar plus sejumlah teman keluarga di beberapa bagian kota.
Dua hari sebelumnya, ibu berbelanja segala keperluan untuk prosesi hantaran itu di pasar besar. Lalu, dapur pun sejak itu menjadi tempat favoritku bermain, karena banyak proses icip-icip yang harus kulakukan. He he, harap maklum … model puasaku di masa kecil masih on-off ataupun setengah hari saja.
Pembuatan nasi kuningnya pake’ dandang segedhe gajah yang dipanasi di atas tungku arang. Hmmm, aroma nasi kuning jadi lebih wangi. Jaman dulu, model plastic “zipped” ataupun kotak kardus belum lagi ngetrend. Kalaupun ada, cuma dipake’ waktu ada yang kawinan. Jadi, untuk prosesi hantaran ini, piring-piring kaca digelar di ruang tamu dan ruang makan, trous dialasi daun pisang yang diambil langsung dari kebun dan dipotong bundar mengikuti pola dan ukuran piring. Baru sesudah itu, nasi kuning dicetak di atas potongan daun pisang dengan menggunakan mangkuk kecil.
Lauk-pauknya lengkap banget, dari mulai ayam goreng, telur dadar hias, serundeng (daging sapi goreng dicampur ama kelapa parut), acar mentimun, perkedel kentang, sambel goreng ati-ampela, abon sapi. Itu semua dimasak sendiri ama ibu dan dhe En, gak ada yang beli jadi.
Setelah kira-kira dua puluh piring siap hantar, maka dimasukkan ke rantang besar (orang Jawa Timur biasa nyebutnya ”tenong” dengan pengucapan ”e” seperti pengucapan ”tesis”). Satu tenong, isi tiga piring. Ibu biasanya menyiapkan empat tenong, sehingga aku dan mbak Ries, kakakku, bisa bawa dua tenong sekali jalan, sedangkan dua tenong lagi sudah siap sedia kita bawa sekembali kita mengantar paket pertama. Kegiatan mengantarkan nasi kuning ini, biasanya kami mulai selepas sholat Ashar dan akan selesai menjelang sholat Maghrib.
Kegiatan ini sangat menyenangkan buatku. Jalan-jalan sore, ketemu banyak orang dan setelah prosesi hantaran selesai, rasanya nikmat banget deh duduk di meja makan mencicipi hasil masakan ibu yang enaknya tiada duanya.

Waktu ibu mulai sakit, hantaran lebaran berganti jadi kue-kue basah yang dipesen dari toko Neutral ataupun toko Lezat/Aza. Biasanya kue sus, lapis Malang, lemper, kue lumpur dan carabikang, masing-masing beberapa potong. Meskipun aku masih menikmati proses mengirimkan hantaran ke para tetangga, namun gregetnya sudah tidak lagi sama seperti ketika aku juga mengikuti proses masak-memasak dan menghias hidangan hantaran itu. Apalagi, tidak lagi terasa nikmatnya melepas lelah sehabis prosesi hantaran selesai. Meskipun rasa kue-kue itu enak, tetap tak bisa mengalahkan enaknya nasi kuning masakan ibuku.

Waktu ibu sudah tidak ada, tidak pernah lagi kita kirimkan hantaran lebaran ke para tetangga. Selain karena kami anak-anaknya sudah pindah ke Jakarta, Balikpapan dan Riau, juga karena budaya sekarang yang terlalu praktis dengan hanya pesan nasi kotak buat hantaran lebaran ke tetangga, yang acapkali hantaran tetangga satu dengan tetangga lainnya datang dari catering yang sama dengan model dan rasa yang sama. Ha!
Sering aku kangen prosesi hantaran seperti masa kecilku dulu, aku juga kangen menu hantaran buatan rumah. Tapi, apa daya ... memasak pun ku tak bisa ... Ha??!%$@#$??

1 Comments:

At 1:14 AM, Anonymous wiwik said...

aku juga pernah mengalaminya waktu kecil. maksudku jadi tukang hantar begitu, dan enaknya, kadang ada yang berbaik hati nyangoni (memberi uang) kami. asyikk

 

Post a Comment

<< Home