Tuesday, October 09, 2007

Day One, Cultural Adjustment ...


Seperti biasa sebelum tidur, aku selalu mencocokkan jam dengan waktu setempat dan mengaktifkan alarm (wake up call). Jadi, tepat jam lima pagi dering alarm membuatku terjaga dari kelembutan dan keempukan pulau kasur Residence Inn Marriott San Ramon. Meskipun saat ini sudah masuk musim semi, sisa-sisa hawa musim dingin, masih terasa menyusup di sela-sela daun pintu. Hmmm … kutengok pagi dari balik tirai jendela kamar, dan yang terlihat adalah pendar warna-warni beragam daun dan bunga di setiap lekuk perbukitan yang membentang persis di seberang penginapan. What a colorful San Ramon …

Setelah ibadah pagi, kujerang air, tak lagi di tungku arang, tapi di atas kotak beraliran listrik yang bisa membuat air mendidih kurang dari lima menit. Sebungkus mie instant pun berubah rupa, menebarkan harum ke seantero kamarku. Duduk mencangkung bergelung sarung sembari nonton televisi, habislah semangkuk mie rebus itu dalam hitungan menit juga. Kelaperan kayaknya, setelah dimanja dengan menu-menu yang yummie selama enambelas jam perjalanan dengan Singapore Airlines, trous langsung dianggurin keroncongan semaleman selepas dari San Francisco … hehehe. Ritual selanjutnya : mandi, lalu nyiapin semua dokumen penting. Semalem diingetin kalo’ semua dokumen penting jangan pernah sekalipun ditinggal di kamar penginapan ataupun apartment. Karena pernah ada teman yang kehilangan semua traveler’s cheque dan passportnya, yang dia simpan di laci kamar. Halah, kalo’ gini sih on his own risk lah ya. Udah tau kalo kamar penginapan itu pasti dibersihin selagi kita gak ada di sana, ini malah kayak ngundang penyamun ke sarang harta karun dah.

Menuju bangunan utama penginapan, kutitipkan kunci kamar di loket penerima tamu, dan segera kuserbu tempat sarapan. Hmmm, semangkuk mie rebus tadi ternyata masih belum nendang juga neh. Dan inilah dia menu sarapanku, yang selanjutnya menjadi menu sarapan standard selama enam bulan berikutnya : kentang goreng atau pure kentang, scramble eggs, daging asap atau sosis sapi, salad buah, jus apel dan susu murni. Dimakan di atas piring styrofoam, pake’ sendok, garpu dan pisau plastik, minumnya pun di gelas plastik. Praktis sih, tapi … apakah cukup memadai dari segi kesehatan ? Don’t ask me, ask the expert dunk.

Jam 06 :45 am, Michaela Sanchez – HR reps jemput aku pake’ mobilnya yang mungil. Setelah basa-basi sejenak, berangkatlah kita. Wuih, ternyata kantor Chevron di San Ramon cuma sepelemparan batu dari penginapanku. Pas di seberang jalan. Tapi, jangan kira jalannya gak lebar, ini sih gak cuma lebar tapi juga padet lalu lintasnya. Plus satu lagi, di sini, gak ada yang bawa kendaraan dengan kecepatan di bawah 40 miles/jam. Setelah mobil terparkir rapi, masuklah kita lewat pintu utama yang dijaga pak satpam berseragam, tapi untuk bisa masuk ke dalamnya kita tetap harus pake’ system gesek … yaitu ngegesekin kartu identitas kantor kita ke satu kotak kecil yang terpasang di dinding dekat pintu masuk. Berhubung aku masih pake’ kartu identitas kantor yang lama, maka kemana-mana gak berani jauh-jauh dari si Michaela. Takut terkunci, gak bisa masuk atau keluar nantinya. Norak ya gue …

Tepat 07:30 am, sampailah kita disatu ruangan yang cantik: bersih, rapi dan ada beberapa tanaman bunga di dalam pot berjajar sepanjang tepi jendela. Seorang ibu rada sepuh menyambut kami dan mengenalkan diri sebagai Anita Huster, yang akan memfasilitasi tiga hari workshop lintas budaya ini. Dan dimulailah tiga hari intercultural workshop yang menyenangkan ini. Dia langsung memberiku sebuah video, beberapa peta dan setumpuk buku. Ternyata, itu semua menceritakan seluk beluk California. Wah, surprise …. Bener-bener persiapan penyambutan yang matang. Konsep pembelajaran tiga hari di San Ramon ini lebih ditekankan pada proses adaptasi budaya. Hal yang sangat bermanfaat menurutku. Diskusi berjalan hangat dan seru, sampe’ gak kerasa sudah jam makan siang. Ditemani Anita, aku menuju ke kantin di lantai satu. Wah, mewah sekali ...: bentuk bangunannya melingkar dengan kaca disekelilingnya, dimana kita bisa melihat sekelompok angsa bermain di danau buatan, teater terbuka yang berbentuk setengah lingkaran dengan bangku-bangku betonnya ... serasa di teater kuno Yunani, dan beberapa kelompok meja kursi yang diperuntukkan bagi mereka yang pengin makan di luar gedung, menikmati indahnya musim semi. Di sini, barulah kurasakan betapa beruntungnya aku yang terlahir di bumi khatulistiwa. Kapan pun bisa kucecap setiap jejak mentari, tak harus menunggu sekian bulan kedepan. Kembali bicara tentang kantin ini, pilihan menunya banyak sekali, ada segala macam pasta, hidangan mexico, bermacam burger dan aneka salads. Dengan begitu banyak karyawan yang memilih untuk makan siang di sini. Makanan dan minumannya lumayan enak, tapi untuk ukuranku porsinya amat besar, bisa buat tiga orang deh. Kalo’ mempraktekkan azas ’sayang’: sayang kalo’ ada yang tersisa dan ditinggalkan begitu saja, hmmm ... bisa-bisa dalam sebulan badan bisa melar ke kiri kanan depan belakang deh. Menurut pengamatanku, kantin ini termasuk kategori bersih. Tapi, tetep aja makanan dihidangkan di atas piring styrofoam, dimakan pake’ sendok, garpu, pisau plastik, gelasnya pun plastik, yang semuanya musti kita cemplungin di bak khusus piranti bekas pakai setelah kita selesai makan. Memang praktis, tapi ... adakah efek samping jangka panjang dari penggunakan styrofoam dan plastik tersebut, gak hanya buat kesehatan masing-masing individu, tapi juga kesehatan lingkungan. Bukankah benda-benda itu sangat sulit atau bahkan tidak dapat terurai hingga berpuluh-puluh tahun? Kalau didaur ulang, bagaimana dengan baku mutu kebersihan dan kualitas bahan selanjutnya? Sekali lagi, don’t ask me, ask the expert dunk ;-)

Setengah jam ternyata sudah cukup untuk menambah energi, kamipun kembali ke ruangan workshop. Sepuluh menit kemudian, Michaela datang untuk mengantarkan aku membuka tabungan di CTCU (ChevronTexaco Credit Union Bank), biar kiriman dari kantor Indonesia bisa datang tepat waktu dan aku gak repot-repot, tinggal ke bank atau pake’ ATM-nya kalo’ perlu suntikan dana segar. Prosesnya cepet dan gak ribet. Cuma ngisi formulir yang simpel, trous udah langsung dapet nomor rekening di selembar kertas. Gitu doank. Gak pake’ buku. Ouch ... serasa ketinggalan seabad deh. Ndeso yo akyu ... :-)

Pulang ke penginapan diantar Anita, dan aku diundang untuk makan malam di rumahnya. Kami pun gak jadi mampir Marriott, tapi langsung ke Vons buat belanja: turkey panggang, pizza yang siap dimasukkan oven, salads dan buah. Lalu bergegas ke rumah Anita. Sebuah rumah mungil. Kami disambut Stephens, suami Anita, dan Jennifer anaknya yang menginjak usia remaja. Malam itu, kami ngobrol sampe’ jam sebelas, dan aku kembali ke penginapan diantar Anita. Ternyata, ibunya Anita ini orang Jawa Timur dan bapaknya orang Belanda yang kemudian berimigrasi ke California. Dia memperlihatkan foto album dimana ada beberapa foto ibunya menggunakan kebaya dan saat mereka masih di Indonesia. Ada beberapa kata Jawa yang sempat dia tanyakan artinya, karena ibunya sering sekali mengucapkannya. Ah ... pantas, ketika kulihat binar mata Jennifer, anaknya, ada sekilas gurat Asia disana. Dan juga ketika merasakan keramahannya menyambutku, hmmm ... masih ada jejak keramahan Asia dalam bentang keakrabannya.

Setengah dari hari kedua dipake’ buat ngurus social security ke semacam dinas kependudukannya US. Disinilah bermulanya cerita kejengkelan yang berkepanjangan. Penasaran? Makanya, jangan pernah bosan mengunjungi blogku ini, karena cerita itu akan bisa ditemui di kisah berjudul “DEVELOPMENT ASSIGNMENT, NETWORKING CAN BE EVERYWHERE …”. Yang pasti, saat di kantor ini aku harus mengisi formulir yang sebetulnya simple dan cukup informative. Selanjutnya antre sampe’ dipanggil ke loket. Di situ sudah menunggu seorang petugas yang mencocokkan passport, informasi di formulir yang udah kita isi, serta sedikit tanya-tanya. Sekilas mirip saat interview pengurusan visa di kedubes Amerika di Jakarta. Satu hal yang mengesankan adalah, di ruang tunggu kantor ini dimana orang antre untuk pengurusan social security maupun tunjangan sosial, hanya dijaga oleh satu orang petugas keamanan. Kita hanya diminta untuk mematikan telephone genggam sesaat sebelum masuk ruangan. Lalu si petugas ini menunjukkan lokasi pengambilan formulir. Di lokasi itu, sudah tersedia kotak-kotak yang masing-masing terisi formulir sesuai peruntukannya. Di atas setiap kotak tersebut, terpampang dengan jelas formulir apa yang ada di situ. Di sebelahnya terdapat meja panjang yang bisa kita pergunakan untuk mengisi formulir tersebut. Di dindingnya berjajar contoh pengisian untuk masing-masing formulir.
Selanjutnya ada satu panduan tentang apa yang harus kita lakukan setelah mengisi formulir. Nah, kalo’ kita ngikutin itu semua ... bakalan lancar deh sampe’ di tahap interviewnya, gak pake’ nunggu lama. Simpel banget khan. Gak pake’ lewat berapa meja, dan gak pake’ nyogok-nyogok segala (hehehe).

Sore harinya aku ikut latihan mengemudi. Atau lebih tepat dikatakan ujian mengemudi. Ini wajib diikuti hukumnya, karena nantinya aku harus nyetir sendiri, sehingga harus paham aturan main di California: setir di kiri, nyetirnya di kanan, aturan di persimpangan yang tanpa lampu lalu lintas, dan dua yang penting adalah batasan minimum dan maksimum kecepatan yang diperbolehkan di highway maupun di jalan perkotaan, dan gak boleh bunyikan klakson kecuali untuk kondisi darurat. Satu lagi yang mengesankan adalah semua mobil di sini udah langsung nyala lampunya saat distarter. Karena aturannya gak peduli siang atau malam, lampu kendaraan harus menyala terus saat melaju. Latihan ini menyenangkan karena San Ramon adalah kota yang berkontur naik turun dan saat musim semi seperti saat ini membuat sejauh dan seluas mata memandang beragam warna akan kita temui.

Malamnya kulewatkan di rumah makan Mexico di market place yang tepat berada di seberang penginapan. Sempat juga belanja di Vons, supermarket yang lumayan lengkap dan bersih. Beli meatballs buat temen mie instant yang masih tersisa ... hehehe.

Di hari ketiga, Anita ngajakin ke Mount Diablo yang gak begitu jauh dari kantor. Sempat ikut ngejemput Jennifer di sekolahnya, barulah kita berangkat ke Mount Diablo. Gak berapa lama nyampe’, hujan turun dengan derasnya. Hhhhhh ... baliklah kita ke penginapan. Aku sampaikan topeng Cirebon untuk Anita sebagai kenang-kenangan yang semoga berkesan buat dia dan keluarganya.

Pelajaran berharga dalam tiga hari pengenalan budaya setempat yang bisa kupetik:
1. Berpikir praktis untuk efisiensi dan efektivitas tenaga
2. Kontrol diri
3. Taman, danau buatan, tempat hang out saat jeda waktu kerja, di lingkungan kerja punya efek positif untuk peningkatan semangat kerja
4. Tak ada sesuatupun yang sempurna
5. Mereka ... juga kita

Esok pagi, kumulai proses pembelajaranku di Bakersfield. Ceritanya bisa diikuti di episode ”Bakersfield, I’m Coming ...”.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home