Tuesday, October 16, 2007

Development Assignment, Networking Can be Everywhere ...

Di episode ini, nantinya akan terbagi menjadi dua: Mengenal budaya lokal, dan mengenal budaya Amerika.

Sebagai catatan, tulisan yang kupublikasikan di episode ini barulah sepenggal. Selengkapnya akan kutambahkan, tapi … beri aku waktu ya. Karena saat ini berbarengan dengan nyiapin tulisan tentang perjalanan lebaran. So, beberapa waktu lagi, cobain deh masuk ke tulisan ini. Moga-moga, ceritanya sudah aku lengkapi ;-)

Aku belajar banyak dengan mengenal budaya setempat, hal yang umum berlaku di atau yang dinikmati oleh komunitas Bakersfield. Antara lain:
1. Ngurus social security nan njelimet
2. Museum minyak
3. pusat keramaian: promenade
4. tempat makan enak: wool grower, olive garden, asia grand cuisine
5. Indian conservation
6. Farm market: Strawberry, carrots
7. Bowling, fitness, adalah olahraga yang disukai selain nascar dan baseball.

Selain budaya setempat, aku berkesempatan mengenal budaya Amerika meskipun baru dari sebagian kecil negara bagiannya yang sempat kukunjungi. Sabtu dan Minggu, serta tambahan beberapa hari Jumat, aku gunakan untuk singgah ke:
1. Seputaran California
a. Los Angeles (Disneyland & California Adventure, Universal Studio)
b. Solvang, dua blok perumahan ala Belanda lengkap dengan kincir angin dan kue-kue khasnya
c. Pismo, Rumah pantainya pak Dick Thompson (deket-deketan nih ama rumahnya gubernur California a.k.a. Arnold Swarzenegger)
d. San Francisco (Mason st., Market place, trem, transit hotel, dan transportation mode, Chinatown, rumah makan Indonesia)
e. Bakersfield itu sendiri (city sign)
f. Tempat game (?), tua muda just for fun, nyobain RV (recreation vehicle)
g. Lake Tahoe National Park, danau cantik dengan beragam festival ditepiannya saat musim semi
h. Yosemite National Park, gunungnya oke, air terjunnya beragam, rest parknya apik dan resik, tourism centernya informatif, sayangnya … filling station (untuk ngisi bensin) cuma ada di gerbang masuk ke national park ini dan hanya buka sampai jam empat sore, sementara lokasi national park ini sangat besar … wah, kayaknya musti nginep kalo’ pengin menikmati keindahan taman nasional ini secara menyeluruh, karena bensin setangki mobil gak akan cukup untuk meng’cover’ perjalanan tersebut.
i. Sequoyah National Park, tempat pohon-pohon seperti pinus yang tumbuh seperti raksasa.
j. San Diego (Legoland, Sea World)
2. Nevada
k. Las Vegas
3. Arizona
l. Hoover Dam
4. Texas
m. Houston
n. Woodlands
o. San Antonio

Labels:

Development Assignment, a Serious Part ...

Perusahaan mengirimku ke negeri paman Sam ini dengan harapan aku bisa belajar banyak hal positif dari kantor pusat korporasi. Dengan berbekal rencana umum yang sudah dipersiapkan sebelum keberangkatanku, kami: aku dan mentorku menjadi lebih mudah untuk menjabarkan detail kegiatan yang akan dijalani selama enam bulan tersebut. Pengin tau apa aja hal serius terkait dengan bidang kerjaku yang kupelajari di sana? Ini beberapa diantaranya:

1. Belajar konsep penanganan panas
2. Belajar penanganan proyek
3. Belajar presentasi teknis yang menarik
4. Belajar berbagi melalui poster dan paper presentation di beberapa forum (Heavy Oil, Reservoir Management)

Detail ceritanya, bakalan kutambahkan di episode ini, tapi … beri aku waktu ya. Berbarengan dengan nyiapin tulisan tentang perjalanan lebaran neh. So, beberapa waktu lagi, cobain deh masuk ke tulisan ini. Moga-moga, ceritanya sudah aku lengkapi ;-)

Nah, di episode mendatang yang juga merupakan pamungkas dari kisah perjalanan penugasan pengembangan karirku di California, lebih banyak bercerita tentang soft skills & arts. Cerita di “Development Assignment, Networking can be Everywhere …”, semoga bisa jadi salah satu referensi untuk teman-teman yang berencana untuk bertandang ke wilayah yang serupa dengan yang kukunjungi ini.

Labels:

Bakersfield, Learning Process in a Week ...

Minggu pertama di Bakersfield adalah masa aku beradaptasi dengan beragam hal dan juga belajar hal-hal baru. Beberapa diantaranya adalah:
1. Peta dan cara bacanya
2. Jaringan internet
3. Seni memasak cepat
4. Keluarga Indonesia di perantauan
5. Merasai salju di musim semi

Peta adalah panduan penting yang tak pernah alpa ada di mobil dan di apartemen. Benda satu ini sangat membantu untuk: ke lapangan, karena lapangan di sini gak cuma Kern River, tapi juga Loss Hill, Midway Sunset, San Ardo, Cymrick, McKitrick, yang jarak satu dengan lainnya cukup berjauhan. Selain itu juga untuk cari jalur tercepat menuju kantor: Ada tiga rute yang bisa ditempuh, via highway I-99, jalan pedesaan, atau jalan memutar tidak melewati highway tapi juga gak lewat pedesaan. Cara baca peta lapangan dengan peta umum agak berbeda, untuk ada pak Dick Thompson yang mau ngajarin gimana penggunaannya.

Jaringan internet sudah jadi salah satu kebutuhan primer. Nyari info obyek wisata menarik, termasuk rute menuju lokasi tersebut, reservasi hotel, maupun perlengkapan yang harus disiapkan untuk kondisi lokasi wisata yang akan dikunjungi, semua bisa didapat dari akses internet yang sangat cepat. Semua sudah menggunakan broad band, dan kebetulan aku berlangganan dari penyedia jasa yang bernama road runner, dengan hanya USD 14.5 per-bulan, aku sudah terhubung dengan dunia maya ini selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Murah banget khan.

Waktu sangat berharga, dan semua harus kukerjakan sendirian. Untuk urusan perut, sebetulnya aku tidak menuntut macam-macam. Fast food pun bisa dengan mudah kutelan. Tapi, apa iya tiap hari, pagi, siang, sore mau makan junk food ataupun mie rebus terus. Gak lah ya. Maka mulailah aku mencoba untuk memasak sendiri dengan menu yang ringan dan mudah. Untuk bumbu dapur, selain bisa didapat di supermarket yang ada di tiap penjuru kota, yang spesifik bisa didapatkan di Asia Market. Banyaknya paket hidangan siap masak untuk satu/dua porsi, serta bumbu siap pakai dalam bentuk sachet, membuat aku bisa memasak sebagai selingan, antara lain: nuggets, telur dadar, salads, soto ayam, soto sulung, nasi goreng, mie goreng, ayam goreng kalasan, dan macaroni schotel.

Kalo’ udah mulai bosen dengan menu yang ada, selain nyoba ke restaurant Thailand, Itali ataupun Cina, biasanya selalu saja bertepatan dengan undangan kumpul-kumpul keluarga Indonesia, yang ternyata di Bakersfield ini komunitasnya cukup besar. Yang cukup sering berinteraksi dan sangat membantu selama masa penugasanku di sini adalah keluarga mbak Waty dan pak Dick Thompson, serta keluarga Amy.

Itulah kegiatanku di hari kerja, Senin sampai Jumat. Lalu, untuk melewatkan hari libur akhir pekan, yang pertama kali pengin kucoba adalah merasai dinginnya salju saat musim dingin sudah berakhir. Ternyata gak perlu jauh-jauh. Cukup setengah jam perjalanan ke arah Los Angeles via highway, sampai ketemu jalan keluar di kanan yang menuju ke arah Mt. Pinos. Daerah ini disebut demikian mungkin karena begitu banyaknya pohon pinus sejak dari lereng hingga puncak gunung. Ada banyak pondok kayu untuk penginapan di kiri kanan sepanjang perjalanan ke puncak, bentuknya mirip bangunan dicerita Little House on the Prairie. Duh, seandainya gak libur akhir pekan, pengin rasanya ngerasain nginep disitu, sekalian mencoba berinteraksi dengan penduduk setempat. Selain pendatang orang-orang Mexico, ada terlihat beberapa orang yang wajahnya mirip orang Indian deh. Baik-baik dan ramah sambutannya. Aku sempat bermain salju, tapi cuma sebentar karena gak bawa baju hangat dan badan udah mulai menggigil kedinginan. Hmmm, daripada Senin gak bisa ngantor karena flu, akhirnya menjelang malam aku balik ke Bakersfield dengan hati riang. Ternyata, salju itu memang putih dan rasanya ya seperti es batu gitu deh. Eits, ati-ati. Jangan nyobain salju disembarang tempat, karena banyak hewan yang berkeliaran dan pipis sembarangan.

Selama penugasan untuk pengembangan karir ini, sebetulnya bisa dikelompokkan ke dua kelompok besar: pengembangan teknik dan perluasan jejaring (network). Apa aja yang bisa kuambil pelajaran dari keduanya, bisa diikuti di dua episode berikut. Yang pertama, kita ngobrol yang rada serius dulu ya: “Development Assignment, A Serious Part …”.

Labels:

Kern River, Here I am ...

Dengan membawa kotak rice cooker dan sekarung beras, aku dan Ray sang mentor mengambil kunci mobil dulu di bagian keamanan kantor energy center Camino Media, trous nyoba muter satu lap disekitar blok untuk memastikan aku gak salah ambil jalur. Dengan ford focus putih itulah aku melaju mengikuti gerak Volvo coklat susu yang dikendarai Ray, di Gosford Rd., melewati Stockdate Hwy., Truxtun Ave., sampe’ ke xxx Jct. Nah, disinilah baru terasa kalo’ aku berada di lapangan minyak berat terbesar di Amerika. Pompa-pompa angguk mulai terlihat di kiri kanan jalanan yang kering dan gersang. Stasiun pengumpul uap dan minyak di seberang yang lain. Dikejauhan nampak beberapa kotak bangunan, serta satu di tengah yang mirip seperti karikatur pizza hut. Aha ! Ternyata, itulah kantor utamanya Kern River Field. Dan ternyata, orang-orang disini juga menyebutnya sebagai gedung pizza hut. Sesudah memarkir kendaraan, kami langsung masuk ke gedung utama untuk pembuatan smart badge. Oya, smart badge ini adalah kartu identitas yang dipergunakan oleh karyawan Chevron yang berisi data personal yang sudah disinkronisasi sehingga dapat digunakan untuk mengakses ruangan maupun jaringan komputer, termasuk sistem-sistem penunjang di dalamnya, one card for everything … itulah sebabnya disebut dengan smart badge. Serunya, untuk di Chevron North America, kita boleh berpose ala kita untuk foto di smart badge. Maka, jadilah fotoku duduk di kursi sambil ketawa lepas … hehehe, foto smart badgeku ini bikin ngiri semua teman di Sumatra, karena yang laen musti foto dengan tampang serius semua.

Berhubung proses pembuatan smart badgenya gak terlalu lama, kami bisa langsung menuju gedung sebelah. Kedua gedung ini dihubungkan oleh selasar yang di lantainya terpasang beberapa bintang (meniru walk of fame di LA), dan dimasing-masing bintang itu tertera achievement yang ditandainya. Di samping selasar ini, ada satu bekas pompa angguk jaman dulu, yang dijadikan maskot kantor Kern River Field. Keseluruhan pompa angguk ini terbuat dari kayu dengan roda putar yang sangat besar. Saat ini, masih ada beberapa pompa angguk kuno yang tetap dipasang di lokasi sumur aslinya, namun sudah tidak dioperasikan lagi.

Setengah hari ini aku lewati dengan berkenalan, dari sayap timur sampe’ barat, utara sampe’ selatan. Jujur aja, sebenarnya gak semua aku hafal dalam rute perkenalan saat itu, tapi paling ngga’ sebagian besar wajahnya aku ingat. Satu lagi yang rada susah untuk dihafal adalah layout bangunan di Kern River. Tapi, kalo’ ntar nyasar, masih bisa lah tanya-tanya ama karyawan lainnya. Aman tuh. Aku dapet ruangan di sayap F, dimana group Technical Team Assets Management ngumpul. Di pintu masuk ruangan, sudah terpasang papan namaku sesuai nama panggilan dan nama belakangku : Neni Saptarani, dan disampingnya dipasang bendera kecil stars and strips, plus papan tulis kecil buat nulis pesen kalo’ lagi ninggalin ruangan. Ruanganku sendiri cukup lengkap, selain meja dan kursi yang ergonomis, serta seperangkat desktop komputer standard dan telephone, juga ada beberapa kabinet dan sekotak alat tulis lengkap.

Muterin gedung udah, mengenal rekan sekerja udah, bikin kartu identitas udah, ngeliyat ruang kerjaku juga udah, gak kerasa sudah hampir jam dua belas siang. Ray pun mengajakku makan siang. Kali ini, aku diajak ke rumah makan Cina. Mungkin dikiranya aku masih dimasa penyesuaian dan belum akrab dengan makanan barat. Halah, koq ya gak ditanya dulu. Khan aku paling susah buat makan yang pedas-pedas, dan kalo’ boleh pilih, aku lebih suka ke Italian restaurant atau ya ... western foods lah. Soalnya, bumbunya gak terlalu spicy, dan serba empuk jadi gak terlalu penuh perjuangan saat mengunyahnya. Hehehe ... males ye gue .... Siang itu, kami makan kung paw chicken dan meatballs soup. Porsinya gak terlalu besar, lambungku gak berontak dan yang pasti ... tidak memubazirkan makanan.

Sekembalinya ke kantor, Ray meneruskan kerja hariannya, sedangkan aku langsung menuju ke kantor pizza hut untuk konfirmasi tabungan CTCU yang sudah kudaftarkan di San Ramon. Dan selanjutnya, kulewati hari itu dengan membaca dan membalas e-mail, dan nge-check nomor-nomor telephone penting yang udah disiapin ama petugas administrasi team baruku ini. Hari pertama balik dari kantor ke apartemen, aku ngikutin mobil Ray, sembari ngapalin jalan biar besok pagi udah bisa bawa mobil sendiri tanpa takut kesasar lagi. Ugh, jadi inget buku … woman can’t read map. Alhamdulillah perjalanan pulang berlangsung aman. Sehabis maghrib, aku beranikan diri ke ‘market place’ sendirian. Dan ternyata berhasil. Jadi pede nih buat jalan-jalan keluar kota sendirian, hihihi.

Hari pertama kerja di Bakersfield ternyata menyenangkan. Segalanya begitu lancar dan bersahabat. Bagaimanakah selanjutnya? Apakah semua akan selalu mudah dan menggembirakan? Selengkapnya bisa diikuti di episode “Bakersfield, Learning Process in a Week …”.

Labels:

Wednesday, October 10, 2007

Camino Media, I'm Ready ...

Awal April ini sudah memasuki musim semi. Memang sih, kepasian sudah mulai tergantikan oleh polesan warna dedaunan dan bunga-bunga, tapi jangan tanya soal hawa. Brrrr … dinginnya masih menusuk tulang. Matahari masih malu-malu untuk menorehkan jejak hangatnya. Dan di lobby Chambridge Village aku menggigil menunggu dijemput mentorku. Untungnya, gak lama kemudian volvo coklat muda sudah muncul di pintu masuk dan kamipun langsung bergerak menuju Chevron Energy Center di Camino Media.

Masih pagi, tapi suasana kantor tidak sepi. Kebanyakan mereka mulai masuk kerja jam enam pagi, biar bisa balik kantor gak terlalu sore. Gedung Energy Center ini terdiri atas beberapa bangunan, ada yang untuk kantor dan ada yang untuk pelatihan. Diantara tiap bangunan itu, ada selasar yang di kiri kanannya tersedia beberapa meja dan kursi. Wah, enak juga ya … bisa dipakai buat santai di saat-saat jeda kerja.

Memasuki gedung utama, terbaca sebuah kalimat di dinding berlatar biru, visi dari perusahaan ini tentang people, partnership and performance. Designnya bagus, tapi aku tidak sempat berlama-lama mengamatinya karena kami harus melapor ke bagian penerima tamu. Yang menarik adalah semua sudah terkomputerisasi, sehingga dengan hanya menunjukkan smart badge, menyebutkan siapa yang akan dikunjungi, dan data tersebut dimasukkan ke komputer, maka kita akan tahu di ruang mana serta rute menuju ke ruangan tersebut. Selanjutnya untuk masuk ke ruang utama, kita harus menggesekkan smart badge ke kotak pemindai di sisi pintu masuk. Di dalam, ruang kerjanya model cubical, diantara satu blok dengan blok lainnya terdapat satu set meja kursi yang bisa dipakai untuk rapat non confidential, dan ada juga yang untuk makan/minum. Oya, di tiap lantai terdapat juga beberapa pantry yang lengkap terisi segala macam jenis teh dan kopi. Tinggal ambil gelas styrofoam (hmmm … lagi-lagi styrofoam …), masukin kopi atau teh, tambahin gula, seduh dengan air panas yang sudah tersedia juga. Tiap pantry juga dilengkapi dengan lemari es dan microwave, sehingga karyawan yang memilih untuk tidak keluar kantor saat makan siang, bisa menaruh bekalnya di lemari es dan memanaskannya saat akan dimakan.

Yang menurutku lucu dan inovatif adalah ruang rapat non confidential yang ada diantara blok-blok cubical. Designnya sangat atraktif dan berwarna, serasa kembali ke masa taman kanak-kanak deh. Juga ada tempat telephone umum kedap suara yang bisa dimanfaatkan oleh para karyawan sekiranya ada percakapan penting dan confidential yang tidak bisa ditangani via telephone yang ada di tiap-tiap meja kerja. Harap maklum, design kantor energy center ini khan cubical yang terbuka, sehingga tiap orang bebas nguping obrolan tetangganya … hehehe. Selain itu, ada beberapa cubical yang terisi lengkap dengan perangkat kerja (network PC, telephone, stationeries, lampu tambahan) yang tidak berpenghuni. Ternyata ruang itu disebut hotel, yaitu diperuntukkan bagi para karyawan dari operating unit lain yang kebetulan bertandang ke Camino Media. Perlu diketahui, langit-langit gedung utama ini dibiarkan terbuka sehingga semua instalasi, baik listrik maupun pendingin, kelihatan berseliweran jauh di atas kita. Tapia man koq, karena emang kantor ini didesign bernuansa pabrik.

Di seberang gedung utama, terdapat bangunan dua lantai untuk pelatihan. Dan sekali lagi, jangan pernah lupa bawa smart badge, kalo’ gak pengin kayak anak sekolah disetrap gak bisa masuk ruangan, tapi yang ini karena terkunci … hehehe. Ruang kelasnya berisi perangkat yang ergonomics, kursinya bisa diatur sesuai postur kita, dan mejanya pun bisa diatur ketinggiannya sehingga monitor komputer bisa sesuai dengan arah pandang kita.

Puas muter-muter gedung dan geleng-geleng kepala melihat perkantoran yang nyeni ini, masuklah kami ke satu ruang pertemuan, dimana Joe Fricke dan sejumlah orang HR, sudah menunggu. Kami disambut dengan jabat erat dan sebuah kotak yang cukup besar, yang ternyata isinya adalah … rice cooker! Ha! Belum cukup terkejut kita atas penyambutan yang unik ini, eh … ditambah lagi dengan sekantong beras Thailand seberat 10 kg. Hahaha … seru, tapi rada trenyuh sebenernya.

Dan seperti di San Ramon, kami pun diberi setumpuk peta dan buku tentang Bakersfield. Ugghhh … kualitas kemasannya bagus banget. Setelah ngobrol-ngobrol bentar, acara perkenalan ini segera ditutup karena aku dan Ray akan melanjutkan perjalanan ke Kern River Field, dimana kantor tempatku magang selama enam bulan ke depan berada.

Selengkapnya, baca di episode “Kern River, Here I’m …”.

Labels:

Bakersfield, I'm Coming ...

Setelah tiga hari workshop lintas budaya yang menyenangkan di San Ramon, di pagi hari ke-empat, Residence Inn Marriott San Ramon harus kutinggalkan karena aku mesti melanjutkan perjalanan ke Bakersfield. Kali ini, lagi-lagi Don sang supir limo yang mengantarkan hingga bandara San Francisco. Masih terlalu pagi untuk check in, masih sempat nih liyat-liyat sekeliling. Sekali lagi respekku untuk kebersihan, ketertiban dan bekerjanya semua piranti penunjang di fasilitas publik ini. Ada beragam transportasi publik yang tersedia hingga pintu gerbang gedung bandara: shuttle bus, taxi dan limousine. Tempat menunggunya apik, simpel dan nyaman, walaupun berada di ruang terbuka di luar gedung utama. Budaya antri dan pelayanan tepat waktu membuat segalanya mengalir tanpa keresahan. Di dalam bangunan utama sebelum counter check in, tersedia tempat duduk yang cukup memadai dan informasi sangat mudah kita dapatkan, baik berupa leaflet, buku, peta, papan penunjuk arah yang kesemuanya disediakan secara cuma-Cuma dan dapat dibaca dengan jelas dan sangat informatif.

Satu jam sebelum keberangkatan, aku bergegas check in dan segera menuju ke titik pemeriksaan. Nah, ini dia nih yang selalu bikin aku sebel. Di tempat pemeriksaan di tiap bandara di USA, kita harus mengeluarkan laptop dari tasnya, melepas ikat pinggang yang ada unsur logamnya, dan satu lagi, melepas alas kaki. Hhhhh …, kebayang khan kalo’ kita melakukan perjalanan sendirian, pake’ sepatu bertali, trous antrian pemeriksaannya panjang, dan kita musti mengeluarkan laptop, lalu nantinya memasukkan kembali semua piranti itu. Belum lagi kalo’ detektor logam ataupun alat pemindainya bunyi, yang artinya ada barang aneh yang perlu diwaspadai di dalam tas bawaan ataupun saku baju kita. Plus kebanyakan petugasnya kurang ramah dan wajah distel kenceng begitu. Selain itu, yang membuat tidak nyaman adalah tidak tersedianya kursi untuk memasang kembali alas kaki, serta tidak adanya ruang yang cukup untuk proses memasukkan laptop dan barang-barang logam lain ke dalam tasnya. Jika kita masih cukup sigap, tentunya hal tersebut hanyalah hal kecil yang bisa ditolerir. Tapi, bagaimana dengan para manula. Tidakkah hal kecil ini, bisa mengurangi kenyamanan mereka dalam melakukan rangkaian perjalanannya? Terkadang, saat antrian panjang, memang ada petugas yang mengarahkan para calon penumpang ini ke lajur pemeriksaan khusus berdasarkan usia, kelas tiket pesawatnya, ibu hamil dan anak-anak. Tapi, tetap saja semuanya terkesan harus cepat, agak terburu-buru dan kurang manusiawi menurutku.

Selepas pemeriksaan ini, ruang tunggunya gak terlalu besar, tapi ya itu … kenyamanan terasa kembali dan kita bisa akses internet karena spots Wi-Fi ada dimana-mana. Kalo’ perlu colokan pun sangat mudah menemukannya. Lima menit menjelang dua belas siang, United Airlines mengantarkanku terbang ke Bakersfield yang rada gersang … ouch!.

Dan … nyata benar bedanya ketika satu setengah jam kemudian pesawatku mendarat. Bandara Bakersfield ini sangat kecil. Bangunan utamanya pun hanya menyerupai rumah yang agak besar. Dan lucunya, baru pertama kali ini aku harus mengambil bagasi di luar bangunan utama, berdekatan dengan tempat parkir umum, karena hanya itulah satu-satunya tempat pengambilan bagasi. Hahaha … kebayang gak sih kalo’ yang semacam ini ada di negri sendiri. Bisa-bisa banyakan yang ngantri di loket lost and found deh. Menurut berita terakhir yang aku baca, bandara ini udah dirombak abis jadi gedhe sak hohah (apa ya padanan kata ini dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar? ;-))

Begitu ketiga koperku sudah ditangan, kulayangkan pandangan kesekeliling, dan terlihat satu mas-mas yang tinggi gedhe dalam arti sebenarnya yang membawa papan tulis kecil bertuliskan namaku: Mr. Ponda Saptarani, upshhh … koq aku jadi mister ya, bukan miss. Heuheuheu … Untung si mas itu tanggap dan do apologize sak perlunya. Lalu berangkatlah kami menuju Chambridge Village, apartment yang akan kutinggali selama enam bulan, dengan menggunakan SUV Mercy warna item. Hmmm, enak … nyaman … empuk … dan bikin ngantuk ;-)

Untuk skala Amerika, Bakersfield ini termasuk kota kecil yang gersang. Terletak di lembah, yang menyebabkan udara dari kota sekitarnya terperangkap di sini. Makanya Bakersfield termasuk kota terpolusi di California. Meskipun kota kecil, jangan bayangkan akan sama dengan kota kecil di pelosok negri yang gemah ripah loh jinawi ini. Highway yang membelah kota, sama persis dengan kota besar lainnya, jalan-jalan kota pun lebar-lebar dan hotmix semua. Rambu dan marka jalan tersedia dan terpasang dengan semestinya. Standard pertokoannya pun sama: untuk elektronik, ada Best Buy, CompUSA, untuk pakaian dan teman-temannya, ada JC Penney, Macy’s, KOHL, Big Five Sports, untuk supermarket, ada Vons, Walmart, dan seterusnya.

Setelah dua puluh menit perjalanan, sampailah aku di North Laurelglen. Disanalah Cambridge Village berada. Memasuki halaman, kami disambut oleh sederetan bunga mawar merah hati seukuran bola sepak takraw. Menuju ke bangunan induk untuk check in, sementara si mas supir nunggu di mobil, karena nantinya aku masih harus bawa barang-barang ke blok apartemenku. Di sini, aku diberi formulir berlembar-lembar yang harus aku isi. Tapi, ngisinya boleh nanti. Syaratnya gampang, selama formulir itu belum dibalikin komplit terisi, maka aku gak akan dapet kunci untuk buka kotak suratku. Selain formulir itu, ada segepok brosur yang diberikan bersama kunci apartemen, yang antara lain berisi informasi denah lingkungan apartemen, daftar acara bulanan bersama seluruh penghuni apartemen, dan persyaratan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, baik di dalam apartemen maupun di kawasan publik. Kami pun bergerak menuju apartemenku. Oya, bangunan di Cambridge Village ini semua bertingkat dua kecuali kantor apartemennya. Masing-masing bangunan, terdiri atas empat apartemen. Ada yang kamarnya satu, dua atau tiga. Wah, ternyata aku dapet yang di lantai atas. Lumayanlah, prosesi angkut-angkut koper bikin ngantukku ilang. Mas supir pun pamit setelah semua koper tersimpan dengan rapi di kamarku. Dan, mulailah peninjauan kulakukan.

Pertama-tama yang kulakukan adalah memulai pemeriksaan untuk mengisi formulir check list kondisi apartemen. Isinya sangat detail, dan kita boleh membubuhkan komentar jika ada sesuatu yang perlu ditangani oleh pihak pengelola. Bermula dari ruang tamu dan ruang makan, propertinya lengkap dan televisinya pun bekerja dengan baik. Pemeriksaan kulanjutkan ke dapur. Aha, pasti senanglah mereka yang suka memasak. Komplit banget, bo’ : kompor listrik, pencuci piring otomatis, pencacah sampah dapur, oven, microwave, mixer, blender, dan er … er lainnya, selusin alat makan lengkap, panci segala ukuran, lemari es gedhe segajah, dan buku manual lengkap untuk semua properti dapur ini. Peralatan ini semua kayaknya bekerja dengan baik, jadi di check list bagian dapur aku sebutkan semuanya good & work properly. Melangkah ke kamar tidur yang berisi satu tempat tidur king size, kaca rias, drawer, dan lemari dinding. Udah, itu doank isinya. Yang kucermati adalah titik-titik stop kontak dan outlet telephone. Semuanya ok. Di seberang kamar tidur adalah kamar mandi, diantara kedua ruang ini, ada pintu yang ketika kubuka ternyata isinya mesin cuci dan mesin pengering. Wah, apartemen ini tampaknya memang dirancang dengan efisien. Asyik khan, baju dibuka dan dicemplungin ke mesin cuci, nyalakan, tinggal mandi, selesai mandi bajunya udah selesai dicuci, tinggal pindahin ke mesin pengering, nyalakan, tinggal dandan dan ngangetin makanan, udah deh bajunya udah kering. Amat praktis dan sangat mendukung buat yang living single khan. I like it.

Setelah check list selesai dan serah terima kunci mailbox sudah terlaksana dengan sukses, sembari selonjoran di ruang tamu aku mulai berpikir : duh, apa neh yang musti dimasak buat makan malam. Aku belum tahu dimana lokasi swalayan terdekat, dan tak ada satu pun makanan instant yang aku bawa. Hmmm, ya gini ini kalo’ kebiasaan santai … maka meranalah dakyu :-D
Aha ! Jadi inget kalo’ Ray Hierling, calon mentorku, udah pesen supaya aku segera hubungi dia sesampainya di Bakersfield. Langsung aja kutelephone dan dia bilang bakalan segera meluncur ke apartemenku sehabis dia jemput anaknya dari latihan nari. Kira-kira setengah jam kemudian, kedengeran ada yang lari-lari naik tangga trous bag-bug-bag-bug. Wuih, ini raksasa mana yak yang ngetuk pintu. Kuenceng banget. Kuintip, dan keliyatan satu bentuk wajah yang sangat ramah dan lucu. Ya, dialah mentorku. Gak pake’ nunggu lama, setelah dia masuk dan kita basa-basi seperlunya, dia nawarin nganterin ke market place buat belanja. Ya kusambut dengan ceria dunk. Kami pun berkendara menuju Gosford Rd., lalu belok kiri ke Ming Ave.. Nah, ternyata market placenya ada di kanan jalan. Walah, ternyata gak jauh toh dari apartemenku. Cuma beda satu blok aja. Tapi, kalo’ jalan ya lumayan pegel, trous pake’ ketir-ketir, soalnya jalannya lebar dan mobilnya kenceng-kenceng. Gak ada cerita kita nyebrang sembarangan. Musti di lampu merah, pencet tombol penyebrangan, dan nunggu sampe’ tanda pejalan kakinya jadi ijo sebelum kita bisa melenggang ke seberang dengan aman. Sayangnya, di jalur jalan-jalan ini, pedestrian streetnya gak kayak di San Francisco. Di sini, gak semua jalan ada jalur untuk pejalan kakinya. Ya, maklumlah. Hampir semua penduduk di sini udah punya oto. Jadi, melihat pejalan kaki adalah pemandangan yang cukup aneh, kecuali kalo’ kita jalan kaki dengan pakaian olahraga … itu masih dimaklumi.
Dan sabtu sore itupun kulalui dengan belanja di Vons trous berlanjut ke Asia Market yang juga berlokasi di Ming Ave. tapi di sisi yang berlawanan arah dengan Market Place. Balik ke apartemen, belanjaanku lumayan lengkap : meatballs, mie instan, chicken nuggets, udang segar, tepung terigu, garam, merica, bawang bombay, bawang putih, roti tawar, mentega, meisjes, keju parut, selai coklat, apel, dan anggur. Ray mampir lagi bentar untuk ngejelasin beberapa dokumen untuk persiapan introduction hari senin. Abis itu dia pamit pulang dengan pesan kalo’ aku perlu sesuatu, just call him. Soalnya, mobilku udah dianter ama Avis (persewaan kendaraan) ke kantor, tapi yang dititipin kuncinya ternyata libur. Hiks. Gak sempat ngelakuin adjustment di akhir pekan neh. Hiks.

Hari pertama di Bakersfield kulalui dengan sukses. Pas bangun pagi harinya, baru keinget kalo’ baterai telephone genggamku udah ampir abis. Dan colokannya gak cocok dengan outlet standard US, musti dipasangin connector yang ketinggalan di Indonesia. Untungnya, John Fricke, perwakilan HR di Bakersfield nelephone. Ternyata, dia juga tinggal di Cambridge Village selama masa purna tugasnya. Aku minta tolong aja untuk dianterin ke Radio Shack. Ini tempat penjualan spare parts elektronik yang gak terlalu jauh dari Laurelglen. Lengkap, dan yang terpenting connector yang aku cari ada disana. Tapi, mahal banget oiiii … USD 35. Berhubung perlu, ya … kubeli aja. Hhhhh …. Dan kembalilah kami ke Cambridge Village. Gak ada belanja-belanji … pengencangan ikat pinggang.

Di hari minggu inilah, aku lewatkan siang dan sorenya untuk mempelajari kawasan apartemen. Ternyata, Chambridge Village ini lumayan lengkap dan aman. Lokasinya terletak di persimpangan antara Gosford Rd. Dengan North Laurelglen. Dan North Laurelglen ini ternyata jalan buntu. Jadi jalan di depan apartemen gak terlalu rame. Fasilitas yang tersedia adalah kolam renang, perpustakaan, lapang tennis, lapangan basket, taman yang indah plus bangku-bangku buat nongkrong, tempat nyuci mobil, dan tempat parkir dengan atap. Dari semua fasilitas itu, cuma ngeringin mobil aja yang gak gratis. Kita musti masukin dua koin 50 cents untuk mengaktifkan si vacuum cleanernya. Untuk nyucinya sih gratis. Satu lagi yang baru kutemui di US adalah tersedianya kotak-kotak buat kotoran hewan peliharaan yang dilengkapi dengan plastik-plastik. Selain itu, di tiga sudut kawasan ini tersedia rak kotak surat dari masing-masing apartemen. Oya, untuk limbah rumah tangga, sudah tersedia juga tempat sampah di tiga sudut yang tersembunyi. Uniknya, setiap pagi akan datang truk sampah yang dilengkapi satu alat yang bisa langsung mengangkat tempat sampah besar itu, menuangkan isinya ke bak truk, lalu mengembalikan tempat sampah itu ke posisi semula. Wuih, pantes gak banyak makan tenaga kerja, tapi bisa tetep jaga kebersihan lingkungan. Patut ditiru. Sebenarnya kita sudah punya fasilitasnya, bentuknya pun hampir sama, tapi berhubung gak ditangani dan gak dipelihara dengan benar, jadinya ya rusaklah semua. Sehingga kita harus kembali manual untuk memindahkan sampah dari satu tempat penampungan ke tempat pengumpulan akhir.

Cukuplah inspeksi lingkungan apartemen untuk hari ini. Bertepatan dengan kakiku melangkah masuk ke apartemen, terdengar dering telephone. Ternyata dari mas Budi Julianto, yang kebetulan juga dapet penugasan ke Bakersfield. Bersama keluarganya hari itu mereka sudah melakukan perjalanan darat sekitar enam jam dari San Ramon dan nyampe di Bakersfieldnya kemaleman, jadi gak bisa ambil kunci apartemen di kantor pemasaran. Yo wis, kutawari aja mereka supaya nginep di apartemenku. Dan malam itu, ruang tamuku pun disulap jadi kamar tidur … :-D

Berhubung besok paginya aku dan mas Budi akan dijemput Ray untuk ke kantor pusat Chevron Bakersfield yang ada di Camino Media jam setengah tujuh, maka akupun bersegera bobok, biar besok gak telat bangun. Ntar ya sambungan ceritanya. Bisa dibaca di episode ‘Camino Media, I’m Ready …’.

Labels:

Tuesday, October 09, 2007

Day One, Cultural Adjustment ...


Seperti biasa sebelum tidur, aku selalu mencocokkan jam dengan waktu setempat dan mengaktifkan alarm (wake up call). Jadi, tepat jam lima pagi dering alarm membuatku terjaga dari kelembutan dan keempukan pulau kasur Residence Inn Marriott San Ramon. Meskipun saat ini sudah masuk musim semi, sisa-sisa hawa musim dingin, masih terasa menyusup di sela-sela daun pintu. Hmmm … kutengok pagi dari balik tirai jendela kamar, dan yang terlihat adalah pendar warna-warni beragam daun dan bunga di setiap lekuk perbukitan yang membentang persis di seberang penginapan. What a colorful San Ramon …

Setelah ibadah pagi, kujerang air, tak lagi di tungku arang, tapi di atas kotak beraliran listrik yang bisa membuat air mendidih kurang dari lima menit. Sebungkus mie instant pun berubah rupa, menebarkan harum ke seantero kamarku. Duduk mencangkung bergelung sarung sembari nonton televisi, habislah semangkuk mie rebus itu dalam hitungan menit juga. Kelaperan kayaknya, setelah dimanja dengan menu-menu yang yummie selama enambelas jam perjalanan dengan Singapore Airlines, trous langsung dianggurin keroncongan semaleman selepas dari San Francisco … hehehe. Ritual selanjutnya : mandi, lalu nyiapin semua dokumen penting. Semalem diingetin kalo’ semua dokumen penting jangan pernah sekalipun ditinggal di kamar penginapan ataupun apartment. Karena pernah ada teman yang kehilangan semua traveler’s cheque dan passportnya, yang dia simpan di laci kamar. Halah, kalo’ gini sih on his own risk lah ya. Udah tau kalo kamar penginapan itu pasti dibersihin selagi kita gak ada di sana, ini malah kayak ngundang penyamun ke sarang harta karun dah.

Menuju bangunan utama penginapan, kutitipkan kunci kamar di loket penerima tamu, dan segera kuserbu tempat sarapan. Hmmm, semangkuk mie rebus tadi ternyata masih belum nendang juga neh. Dan inilah dia menu sarapanku, yang selanjutnya menjadi menu sarapan standard selama enam bulan berikutnya : kentang goreng atau pure kentang, scramble eggs, daging asap atau sosis sapi, salad buah, jus apel dan susu murni. Dimakan di atas piring styrofoam, pake’ sendok, garpu dan pisau plastik, minumnya pun di gelas plastik. Praktis sih, tapi … apakah cukup memadai dari segi kesehatan ? Don’t ask me, ask the expert dunk.

Jam 06 :45 am, Michaela Sanchez – HR reps jemput aku pake’ mobilnya yang mungil. Setelah basa-basi sejenak, berangkatlah kita. Wuih, ternyata kantor Chevron di San Ramon cuma sepelemparan batu dari penginapanku. Pas di seberang jalan. Tapi, jangan kira jalannya gak lebar, ini sih gak cuma lebar tapi juga padet lalu lintasnya. Plus satu lagi, di sini, gak ada yang bawa kendaraan dengan kecepatan di bawah 40 miles/jam. Setelah mobil terparkir rapi, masuklah kita lewat pintu utama yang dijaga pak satpam berseragam, tapi untuk bisa masuk ke dalamnya kita tetap harus pake’ system gesek … yaitu ngegesekin kartu identitas kantor kita ke satu kotak kecil yang terpasang di dinding dekat pintu masuk. Berhubung aku masih pake’ kartu identitas kantor yang lama, maka kemana-mana gak berani jauh-jauh dari si Michaela. Takut terkunci, gak bisa masuk atau keluar nantinya. Norak ya gue …

Tepat 07:30 am, sampailah kita disatu ruangan yang cantik: bersih, rapi dan ada beberapa tanaman bunga di dalam pot berjajar sepanjang tepi jendela. Seorang ibu rada sepuh menyambut kami dan mengenalkan diri sebagai Anita Huster, yang akan memfasilitasi tiga hari workshop lintas budaya ini. Dan dimulailah tiga hari intercultural workshop yang menyenangkan ini. Dia langsung memberiku sebuah video, beberapa peta dan setumpuk buku. Ternyata, itu semua menceritakan seluk beluk California. Wah, surprise …. Bener-bener persiapan penyambutan yang matang. Konsep pembelajaran tiga hari di San Ramon ini lebih ditekankan pada proses adaptasi budaya. Hal yang sangat bermanfaat menurutku. Diskusi berjalan hangat dan seru, sampe’ gak kerasa sudah jam makan siang. Ditemani Anita, aku menuju ke kantin di lantai satu. Wah, mewah sekali ...: bentuk bangunannya melingkar dengan kaca disekelilingnya, dimana kita bisa melihat sekelompok angsa bermain di danau buatan, teater terbuka yang berbentuk setengah lingkaran dengan bangku-bangku betonnya ... serasa di teater kuno Yunani, dan beberapa kelompok meja kursi yang diperuntukkan bagi mereka yang pengin makan di luar gedung, menikmati indahnya musim semi. Di sini, barulah kurasakan betapa beruntungnya aku yang terlahir di bumi khatulistiwa. Kapan pun bisa kucecap setiap jejak mentari, tak harus menunggu sekian bulan kedepan. Kembali bicara tentang kantin ini, pilihan menunya banyak sekali, ada segala macam pasta, hidangan mexico, bermacam burger dan aneka salads. Dengan begitu banyak karyawan yang memilih untuk makan siang di sini. Makanan dan minumannya lumayan enak, tapi untuk ukuranku porsinya amat besar, bisa buat tiga orang deh. Kalo’ mempraktekkan azas ’sayang’: sayang kalo’ ada yang tersisa dan ditinggalkan begitu saja, hmmm ... bisa-bisa dalam sebulan badan bisa melar ke kiri kanan depan belakang deh. Menurut pengamatanku, kantin ini termasuk kategori bersih. Tapi, tetep aja makanan dihidangkan di atas piring styrofoam, dimakan pake’ sendok, garpu, pisau plastik, gelasnya pun plastik, yang semuanya musti kita cemplungin di bak khusus piranti bekas pakai setelah kita selesai makan. Memang praktis, tapi ... adakah efek samping jangka panjang dari penggunakan styrofoam dan plastik tersebut, gak hanya buat kesehatan masing-masing individu, tapi juga kesehatan lingkungan. Bukankah benda-benda itu sangat sulit atau bahkan tidak dapat terurai hingga berpuluh-puluh tahun? Kalau didaur ulang, bagaimana dengan baku mutu kebersihan dan kualitas bahan selanjutnya? Sekali lagi, don’t ask me, ask the expert dunk ;-)

Setengah jam ternyata sudah cukup untuk menambah energi, kamipun kembali ke ruangan workshop. Sepuluh menit kemudian, Michaela datang untuk mengantarkan aku membuka tabungan di CTCU (ChevronTexaco Credit Union Bank), biar kiriman dari kantor Indonesia bisa datang tepat waktu dan aku gak repot-repot, tinggal ke bank atau pake’ ATM-nya kalo’ perlu suntikan dana segar. Prosesnya cepet dan gak ribet. Cuma ngisi formulir yang simpel, trous udah langsung dapet nomor rekening di selembar kertas. Gitu doank. Gak pake’ buku. Ouch ... serasa ketinggalan seabad deh. Ndeso yo akyu ... :-)

Pulang ke penginapan diantar Anita, dan aku diundang untuk makan malam di rumahnya. Kami pun gak jadi mampir Marriott, tapi langsung ke Vons buat belanja: turkey panggang, pizza yang siap dimasukkan oven, salads dan buah. Lalu bergegas ke rumah Anita. Sebuah rumah mungil. Kami disambut Stephens, suami Anita, dan Jennifer anaknya yang menginjak usia remaja. Malam itu, kami ngobrol sampe’ jam sebelas, dan aku kembali ke penginapan diantar Anita. Ternyata, ibunya Anita ini orang Jawa Timur dan bapaknya orang Belanda yang kemudian berimigrasi ke California. Dia memperlihatkan foto album dimana ada beberapa foto ibunya menggunakan kebaya dan saat mereka masih di Indonesia. Ada beberapa kata Jawa yang sempat dia tanyakan artinya, karena ibunya sering sekali mengucapkannya. Ah ... pantas, ketika kulihat binar mata Jennifer, anaknya, ada sekilas gurat Asia disana. Dan juga ketika merasakan keramahannya menyambutku, hmmm ... masih ada jejak keramahan Asia dalam bentang keakrabannya.

Setengah dari hari kedua dipake’ buat ngurus social security ke semacam dinas kependudukannya US. Disinilah bermulanya cerita kejengkelan yang berkepanjangan. Penasaran? Makanya, jangan pernah bosan mengunjungi blogku ini, karena cerita itu akan bisa ditemui di kisah berjudul “DEVELOPMENT ASSIGNMENT, NETWORKING CAN BE EVERYWHERE …”. Yang pasti, saat di kantor ini aku harus mengisi formulir yang sebetulnya simple dan cukup informative. Selanjutnya antre sampe’ dipanggil ke loket. Di situ sudah menunggu seorang petugas yang mencocokkan passport, informasi di formulir yang udah kita isi, serta sedikit tanya-tanya. Sekilas mirip saat interview pengurusan visa di kedubes Amerika di Jakarta. Satu hal yang mengesankan adalah, di ruang tunggu kantor ini dimana orang antre untuk pengurusan social security maupun tunjangan sosial, hanya dijaga oleh satu orang petugas keamanan. Kita hanya diminta untuk mematikan telephone genggam sesaat sebelum masuk ruangan. Lalu si petugas ini menunjukkan lokasi pengambilan formulir. Di lokasi itu, sudah tersedia kotak-kotak yang masing-masing terisi formulir sesuai peruntukannya. Di atas setiap kotak tersebut, terpampang dengan jelas formulir apa yang ada di situ. Di sebelahnya terdapat meja panjang yang bisa kita pergunakan untuk mengisi formulir tersebut. Di dindingnya berjajar contoh pengisian untuk masing-masing formulir.
Selanjutnya ada satu panduan tentang apa yang harus kita lakukan setelah mengisi formulir. Nah, kalo’ kita ngikutin itu semua ... bakalan lancar deh sampe’ di tahap interviewnya, gak pake’ nunggu lama. Simpel banget khan. Gak pake’ lewat berapa meja, dan gak pake’ nyogok-nyogok segala (hehehe).

Sore harinya aku ikut latihan mengemudi. Atau lebih tepat dikatakan ujian mengemudi. Ini wajib diikuti hukumnya, karena nantinya aku harus nyetir sendiri, sehingga harus paham aturan main di California: setir di kiri, nyetirnya di kanan, aturan di persimpangan yang tanpa lampu lalu lintas, dan dua yang penting adalah batasan minimum dan maksimum kecepatan yang diperbolehkan di highway maupun di jalan perkotaan, dan gak boleh bunyikan klakson kecuali untuk kondisi darurat. Satu lagi yang mengesankan adalah semua mobil di sini udah langsung nyala lampunya saat distarter. Karena aturannya gak peduli siang atau malam, lampu kendaraan harus menyala terus saat melaju. Latihan ini menyenangkan karena San Ramon adalah kota yang berkontur naik turun dan saat musim semi seperti saat ini membuat sejauh dan seluas mata memandang beragam warna akan kita temui.

Malamnya kulewatkan di rumah makan Mexico di market place yang tepat berada di seberang penginapan. Sempat juga belanja di Vons, supermarket yang lumayan lengkap dan bersih. Beli meatballs buat temen mie instant yang masih tersisa ... hehehe.

Di hari ketiga, Anita ngajakin ke Mount Diablo yang gak begitu jauh dari kantor. Sempat ikut ngejemput Jennifer di sekolahnya, barulah kita berangkat ke Mount Diablo. Gak berapa lama nyampe’, hujan turun dengan derasnya. Hhhhhh ... baliklah kita ke penginapan. Aku sampaikan topeng Cirebon untuk Anita sebagai kenang-kenangan yang semoga berkesan buat dia dan keluarganya.

Pelajaran berharga dalam tiga hari pengenalan budaya setempat yang bisa kupetik:
1. Berpikir praktis untuk efisiensi dan efektivitas tenaga
2. Kontrol diri
3. Taman, danau buatan, tempat hang out saat jeda waktu kerja, di lingkungan kerja punya efek positif untuk peningkatan semangat kerja
4. Tak ada sesuatupun yang sempurna
5. Mereka ... juga kita

Esok pagi, kumulai proses pembelajaranku di Bakersfield. Ceritanya bisa diikuti di episode ”Bakersfield, I’m Coming ...”.

Labels:

Monday, October 08, 2007

California in My Mind: The Colorful San Ramon

Jam menunjukkan pukul 08:45 malam waktu setempat ketika limousine putihku memasuki Residence Inn Marriott San Ramon. Don, pak supir limo membukakan pintu untukku, mengambil ketiga koperku di bagasi, dan membawakannya ke lobby. Sedangkan aku segera menemui penerima tamu untuk check in. Dan kejutan-kejutan kecil yang manis pun kembali berlanjut.

Tidak seperti penginapan sekelas di Indonesia yang biasanya sangat mewah dan terdiri atas satu bangunan berpuluh-puluh tingkat di lahan yang sangat luas, di sini lahannya tidak seberapa luas, bangunannya terbagi menjadi beberapa petak bangunan dan masing-masing hanya bertingkat dua. Ada dua kelompok bangunan yang sedikit terpisah dari yang lain dengan tempelan pesan berhuruf merah dan berlatar belakang putih di dinding bagian luarnya yang berbunyi: “WARNING: this areas contains chemicals, including tobacco smoke, known to the state of California to cause cancer and birth defects or other reproductive harm - Health & Safety Code Section 252496”. Ternyata, bangunan tersebut diperuntukkan bagi mereka yang memilih smoking room.

Setiap petak bangunan dihubungkan dengan jalan setapak yang terawat rapi. Halamannya sangat bersih, tidak ada satupun sampah tercecer. Berhubung kedatanganku bersamaan dengan mulainya musim semi, bunga warna-warni menghiasi seluruh sudut taman dan tepian jalan. Design bangunan tampaknya sengaja mengakomodasi kebiasaan berkendara warga setempat, sehingga di depan setiap petak bangunan, tersedia lahan parkir yang mampu untuk memuat kendaraan bagi penghuninya. Semua kendaraan terparkir dengan rapi, sesuai garis batas untuk masing-masing kendaraan. Janitor alias para pekerja kebersihan, umumnya bekerja di saat para penghuni tengah beraktivitas di luar penginapan, sehingga hunian ini kesannya sepi dan bersih sepanjang hari.

Di setiap petak bangunan, rata-rata terdapat delapan (8) kamar. Masing-masing hunian terdiri atas : ruang tamu dan area meja kerja yang menyatu dengan dapur kecil yang lengkap (kompor listrik, oven, microwave, mesin pencuci piring, perlengkapan memasak dan makan yang baik kualitasnya), seterika listrik dan mejanya, kamar tidur, kamar mandi (shower & bathtub). Telephone tersedia di ruang tamu, kamar tidur dan kamar mandi. Jaringan internet berkecepatan tinggi pun tersedia di setiap ruangan dan dapat dipergunakan tanpa bayar dan tanpa batasan waktu. Kalau tidak membawa laptop pun, jangan khawatir tidak bisa mengakses jaringan internet, karena di lobby yang menyatu dengan ruang makan bersama sudah disediakan satu unit komputer yang boleh dipakai siapa saja, kapan saja dan bebas biaya. Kalau ingin mencuci baju, tinggal minta detergen ke bagian penerima tamu, lalu menuju ke ruang laundry, masukkan empat koin 50 cents, tinggal masukin baju, cuci, pindahkan ke mesin pengering, lima belas menit kemudian cucian sudah kering dan siap untuk disetrika deh. Di hari-hari tertentu, diadakan makan malam bersama gratis untuk semua penghuni residence inn. Menunya macam-macam dan enak-enak. Satu lagi yang unik, menurutku, adalah adanya tempat perapian di dalam ruangan. Tapi, tidak lagi menggunakan kayu bakar, melainkan listrik tapi design tempatnya masih dibuat seperti jaman dulu. Oya, satu lagi yang menarik di hunian ini adalah adanya ruang perpustakaan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Ruangnya nyaman dan bikin betah, buku bacaannya bagus dan edukatif, dan satu lagi … gak perlu birokrasi berbelit dan tidak dikenakan biaya alias those all are for free.

Puas melihat sekeliling, dan baru saja aku duduk merasai sofa ruang tamuku yang empuk banget, telephone berbunyi. Ternyata mas Aminin Fanandi yang mengabarkan akan datang bersama dengan mas Agus-IT. Gak nyampe’ sepuluh menit, kedengaran ada ketukan di pintu. Aha! Ternyata mas Aminin, mas Agus-IT dan istrinya membawakan lumpia bikinan mbak Aini Fanandi, dan juga indomie, plus pie blue berry. Hmmmm, yummie … Beberapa saat kemudian mas Budi Julianto dan keluarga bergabung bersama. Oya, mas Budi ini barengan waktu CDAnya. Cuma beliau ditempatkan di Midway Sunsets, sedangkan aku nantinya di Kern River. Di sini, baru terasa betapa eratnya persaudaraan sesama, kala kita berada di perantauan yang jauh dari tanah air tercinta. Di sinilah terasa betapa nikmatnya berbagi, meski cuma dengan sebungkus mie ;-)

Ngobrol kesana-sini, gak kerasa udah jam sebelas malam. Mas Aminin, Mas Agus IT dan istrinya pamitan. Sembari kuantarkan ke halaman, aku bilang: “enak ya hawa di sini bikin gak ngantuk”. Yang langsung disambut tawa mas Aminin dan mas Agus IT: “Itu dia dik, kamu lagi ngerasain jetlag. Kalo’ gak dipaksain tidur bentar lagi, dijamin besok pagi digedorpun kamu gak bangun deh. Wis, bobok sana …”.

Beberapa hal yang dapat kuambil sebagai pelajaran di hari pertamaku di USA:
1. Subsidi besar untuk membuat fasilitas umum yang sangat user friendly & work properly sehingga masyarat tidak lagi dibebani oleh beragam pungutan dan mendapatkan kemudahan serta kecepatan akses informasi. Ya … Kalau bisa gratis, kenapa harus dibebankan biaya ?
2. Fasilitas umum yang baik, bisa jadi adalah factor penting yang menyebabkan orang semakin cepat untuk bisa mandiri
3. Kesigapan menolong
4. Kesadaran akan ketertiban dan kebersihan, tanpa harus diawasi langsung
5. Persaudaraan yang terjalin, akan terbawa hingga kita kembali ke tanah air.

Now, I have to sleep my dear friends. Let me takes some lessons today for a better tomorrow. I’ll be back to continue the US visit story in “Day-one, Cultural Adjustment …” So, stay tune.

Labels: